Standar untuk sebuah standar

Apa yang sering dilakukan dan disarankan dalam rangka menjadi manusia yang lebih baik? Meskipun sebenarnya jawaban dari pertanyaan ini sangatlah obvious tapi sebenarnya manusia di berbagai belahan dunia memiliki standar yang berbeda. Dulu jaman orang professor-professor saya masih kuliah, ada gojekan bahwa KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) UGM sudah bisa digunakan untuk melamar anak gadis Pak Lurah. Tentunya sekarang hal ini tidak sahih lagi, karena jangankan untuk melamar anak gadis Pak Lurah untuk nyewa DVD bajakan di rentalan saja kadang tidak diterima, Continue reading

Mendemo Demo

Dari SMA saya dikenal teman-teman sebagai orang yang “politis”, maksud mereka mungkin karena saya gemar memperhatikan dan membahas peristiwa-peristiwa politik, yang menurut saya sebenarnya perlu istilah yang lebih tepat. Karakter saya ini bagai gayung bersambut saat saya berkuliah di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM, anggap saya pembahasan mengenai politik baik domestik atau internasional merupakan meat and potato disana, walaupun selepas kuliah saya pernah mencoba menjadi mas-mas artsy merangkap hotohraher dan hideohraher untuk menjauhkan kemuakan saya terhadap dunia politik Indonesia 2013-2014, Continue reading

#BatikIndonesia Dalam Globalisasi (Batik Indonesia Untuk Dunia)

Di era dahulu, batik merupakan komoditas bernilai tinggi, batik bukan saja merupakan produk sandang, namun juga simbol status sosial penggunanya. Batik umumnya hanya digunakan oleh kaum berada seperti bangsawan atau saudagar kaya, termasuk dengan adanya beberapa corak batik tertentu yang hanya boleh digunakan oleh golongan kerajaan. Batik berasal dari kata “amba” yang berarti menggambar, dan “nitik” yang berarti titik. Motif batik dibuat dengan menciptakan pola-pola tertentu dengan cara menitikan malam atau lilin yang dicairkan dengan menggunakan alat bernama canting, umumnya diaplikasikan dalam media kain, proses ini membuat sehelai kain batik membutuhkan waktu hingga berhari-hari dalam proses pembuatannya, yang membuat harganya menjadi mahal dan tidak dapat dijangkau oleh seluruh kalangan.

Kini batik bukan lagi monopoli kaum berada, di Indonesia, batik umum digunakan oleh orang dari berbagai kelas sosial, munculnya teknik cap membuat harga jual kain batik menjadi dapat dijangkau oleh kelas menengah di Indonesia. Dan kemudian teknik printing yang membuat harga batik menjadi lebih murah lagi dan dapat dijangkau oleh seluruh kalangan. Namun selain itu, batik juga tidak menjadi monopoli bangsa Indonesia saja. Karena batik yang dibuat dengan metode print yang membanjiri pasar Indonesia yang murah ternyata dibuat di negeri China. Beredarnya batik print di Indonesia menjadi sebuah ironi, di satu sisi, harga produk batik yang dibuat dengan metode printing yang sangat murah membuat produk batik dapat dijangkau oleh seluruh kalangan di Indonesia, namun disisi lain, batik yang dibuat dengan metode printing justru meminggirkan para pengrajin batik lokal yang masih bertahan dengan metode tulis dan cap karena memiliki komparasi harga yang jauh lebih murah.

Bagaimana bisa batik yang diproduksi di China justru menjadi primadona di Indonesia? Mengingat batik merupakan warisan budaya bangsa Indonesia. Jawabannya bisa didapatkan dengan melihat pembahasan mengenai fenomena globalisasi di Indonesia. Martin Albrow dan Elizabeth King mendefinisikan globalisasi sebagai “proses yang menjadikan semua orang di dunia bersatu dalam suatu komunitas global”. Globalisasi yang muncul akibat kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi membuat dunia saling terkoneksi, dengan mengeliminasi batasan jarak dan waktu.

Globalisasi Sebagai Ajang Pertukaran Ide

Apa itu globalisasi? Globalisasi membuat batik yang merupakan warisan budaya bangsa Indonesia dapat diproduksi di China, dan globalisasi pula yang membuat batik yang diproduksi di China dapat kemudian dijual di Indonesia. Selain itu dalam era globalisasi, bukan hanya produk, namun pertukaran ide juga dapat dengan mudah terjadi, hal ini berdampak pada menurunnya apresiasi terhadap batik yang kemudian digantikan dengan meningkatnya minat masyarakat indonesia untuk menggunakan sandangan bergaya barat dalam menghadiri acara-acara yang bersifat resmi.

Hal-hal tersebut membuat globalisasi menjadi seperti sebuah momok yang menakutkan bagi kelestarian warisan budaya bangsa Indonesia, sehingga saat ini, umumnya jika berbicara tentang lunturnya sebuah warisan budaya lokal, kerapkali kita merujuk globalisasi sebagai biangnya. Dalam benak masyarakat umum saat mendengar istilah “globalisasi” akan merujuk pada gaya hidup modern dengan model kebarat-baratan lengkap dengan perlengkapan elektronik terbaru. Tapi jarang sekali ada yang dapat mendefinisikan globalisasi sebagai fenomena sejara komprehensif.

Saat saya masih kuliah dulu, seorang dosen pernah menjelaskan tentang apa itu globalisasi. Globalisasi diibaratkan seperti empat orang buta yang memegang seekor gajah yang sama. orang buta pertama mengatakan gajah itu keras dan kaku, karena dia memegang gadingnya. orang buta kedua mengatakan gajah itu berbulu lebat, karena dia memegang ujung ekornya, orang buta ketiga mengatakan gajah itu liat dan bertekstur, karena mereka memegang kulitnya, dan orang buta keempat mengatakan gajah itu empuk dan mulus, karena dia memegang bagian bawah perutnya. Bagaimana bisa seekor gajah yang sama mendapatkan deskripsi yang berbeda-beda? Jawabannya adalah karena masing-masing orang buta memegang bagian yang berbeda. begitulah bagaimana dosen saya mengibaratkan sebuah fenomena yang bernama globalisasi.

Dari anekdot tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemahaman mengenai fenomena globalisasi adalah masalah perspektif. Kita dapat mengatakan globalisasi adalah sebuah fenomena yang berdampak negatif di Indonesia, karena hancurnya pasar produk lokal akibat kalah saing dengan produk-produk impor yang memiliki harga lebih murah, dan kurangnya apresiasi dari generasi muda Indonesia terhadap warisan budaya Indonesia karena lebih memilih untuk menggunakan produk-produk bergaya barat. Walaupun sebenarnya, dengan strategi yang tepat, fenomena globalisasi di Indonesia memiliki prospek positif jika dapat dimanfaatkan dengan baik.

Globalisasi bukanlah suatu fenomena yang berjalan searah, dengan negara-negara berkembang yang menjadi korban pemaksaan terhadap konsumsi produk-produk negara maju. Globalisasi merupakan fenomena yang berjalan dua arah, dan titik beratnya bukanlah pada pertukaran produk, namun pada pertukaran ide. Mengapa produk-produk fashion barat membanjiri etalase toko-toko di Indonesia? Dalam perspektif ekonomi, karena adanya permintaan dari masyarakat Indonesia terhadap produk-produk fashion barat. Namun dalam perspektif globalisasi, membanjirnya produk-produk fashion barat di Indonesia adalah karena munculnya “ide” dalam masyarakat Indonesia untuk menggunakan produk-produk barat.

Jika kita perhatikan lebih seksama yang terjadi sekarang sebenarnya bukan lagi fenomena yang berjalan searah dari barat ke timur, tapi juga telah terjadi ekspor ide dari timur ke barat. Gaya hidup vegetarian yang sedang digandrungi oleh masyarakat Eropa dan Amerika berasal dari India, potongan busana ala China klasik pun telah menjadi pilihan para artis Hollywod, kartun-kartun “Anime” digandrungi oleh para remaja Amerika. dan dari Indonesia, nasi goreng dan “satay” / sate pun telah akrab di lidah para “bule”.

Pesimisme kadang muncul dengan pernyataan bahawa batik buatan Indonesia (yang dibuat dengan metode tradisional) pasti akan tersingkir karena memiliki harga jual yang jauh lebih tinggi dari batik printing buatan China, dimana pernyataan ini sendiri merupakan akibat dari dangkalnya pemahaman tentang batik itu sendiri. Perlu diingat kembali bahwa batik bukan sekedar produk kain bermotif, batik lebih dari itu, batik merupakan sebuah filosofi, seni warisan leluhur bangsa indonesia. Dengan memahami pengertian ini, secara langsung telah menunjukan batik tulis yang dibuat di Indonesia sebagai produk yang superior dibandingkan dengan batik printing yang dibuat di China.

Globalisasi telah membuat ide (lebih dari sekedar produk) menjadi sebuah nilai universal yang dapat diadopsi oleh siapapun di dunia tanpa terbatas oleh jarak dan waktu. Dengan logika tersebut, maka yang sekarang perlu ditemukan jawabannya adalah bagaimana “memberikan ide” kepada dunia untuk mengapresiasi batik sebagai karya seni warisan leluhur bangsa Indonesia dengan segala macam keindahan di dalamnya. Bayangkan jika suatu saat nanti Presiden AS dan para Perdana Menteri Uni Eropa akan berpidato di depan podium dengan menggunakan batik, atau para bangsawan di Eropa beramai-ramai mendatangi balai lelang untuk berebut produk-produk batik karya maestro batik Indonesia karena telah tercipta “ide” bahwa batik-batik terbaik, dibuat di Indonesia oleh para seniman batik dari Indonesia.

Lalu bagaimana dengan batik China? Pengakuan UNESCO tentang batik sebagai produk warisan budaya bangsa indonesia merupakan suatu awal yang baik, sehingga tercipta ketegasan sikap bahwa meskipun kain batik indonesia kini diproduksi di China, namun batik sendiri merupakan budaya warisan leluhur bangsa Indonesia yang kini telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat dunia. Dengan terus memberikan “ide” kepada masyarakat dunia (dalam era globalisasi disebut “global citizen”) tentang batik sebagai mahakarya otentik Indonesia. Niscaya batik Indonesia di Internasional akan diperlakukan seperti mobil buatan Jerman, jas buatan Italia, dan barang elektronik keluaran Jepang.

Camera from yesteryears – SONY A230

Couple days ago, a friend of mine said that she did not get the points from my previous article. I admit that I am not a good writer. It’s hard for me to write about a “camera review” without discussing the technical capabilities, ranging from the size of the sensor, ISO capability, image quality, and other features. I just want to say that the latest technology is not an absolute necessity to take a good picture. So for example I give you my stories about my experience with the old cameras.  Continue reading

Camera from Yesteryears – NIKON D70

In this series I will tell you about my experiences with some cameras I’ve ever used for my photography. I began seriously to pursue the field of photography in 2014, although my interest towards photography has existed long before that. I don’t have much money back then to buy the latest camera in the market. So secondhand camera became my choice, and since that time I have been using various brands and types of DSLR, the first one is NIKON D70 Continue reading

Masih Banyak Hal Baik Tentang Jogja

Jogja

Belakangan ini saya sering dengar kabar kurang baik tentang Jogja, terutama tentang macet, hotel, dan yang lain-lainnya yang serba negatif, Tapi mendekati detik-detik dimana saya akan memutuskan untuk melanjutkan sisa hidup saya di Jogja atau harus menepati janji saya kepada beberapa kawan untuk menyusul ke Ibukota membuat situasi agak sedikit ihik. Tiba-tiba jogja menjadi berbeda, yang biasanya biasa-biasa saja kini setiap liku kota tempat kelahiran saya ini menjadi serba romantis.

Continue reading